Diary Usang: Imajinasi, Bahasa, dan Aku

Aku masih ingat kala dulu aku hendak dipersiapkan untuk memasuki sebuah dunia baru. Sebuah dunia yang asing. Sebuah dunia bernama Sekolah Dasar. Ketika itu, aku tak tahu apa yang terjadi pada orang tuaku. Mereka tiba-tiba memasang papan tulis dan mengajariku berbagai rangkaian garis yang membentuk apa yang dinamakan huruf. Kemudian mereka mengajariku rangkaian huruf yang membentuk kata hingga rangkaian kata tersebut menjadi kalimat. 

Sebuah pelajaran umum untuk mengenal Budi dan keluarganya dikala mengawali proses ini. Ya, berlangsung dari generasi ke generasi. Ketika itu aku tak sadar, mengapa kata-kata itu gampang sekali diucapkan? Mengapa mereka dapat memiliki makna? Yang paling penting dari itu semua adalah, siapa itu Budi? Seberapa penting dia hingga kita harus mengenal Bapak, Ibu, dan adiknya? Sungguh benar-benar tak terpikir ketika itu.

Seperti yang aku ungkapkan di atas, orang tuaku mengajariku mengenal huruf, kata, dan kalimat sedikit lebih cepat sebelum aku masuk SD. Bapakku seorang guru kala itu. Beliau mendaftarkan aku masuk di sebuah Sekolah Dasar yang hanya berjarak sekitar 10-15 meter dari rumah. Sangat dekat tentu saja. Karena rumah kami adalah rumah dinas mungil yang berada di wilayah SD tempat aku menimba ilmu. 

Sejak awal progres membaca dan menulisku cukup bisa mengimbangi teman-teman yang lain. Waktu itu aku tak peduli dengan hitung-hitungan, membaca, menulis, dan lainnya. Kala itu, aku hanya tertarik pada gambar. Goresan pensil yang dapat menghasilkan sebuah pemandangan dua gunung, sawah, dan sungai yang mengalir di bawahnya. Yang kemudian dipadu dengan bermacam warna yang menurutku indah. Sungguh aku terserap pada hebatnya gambar. Namun, semua itu semakin menipis saat aku mengenal apa itu bumi, apa itu luar angkasa, apa itu bintang, apa itu bulan, apa itu planet. Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Aku hanya ingin tahu, ternyata ada dunia lain selain tempat yang kupijak ini, ternyata ada angkasa lain yang masih belum diketahui, dan masih banyak ternyata-ternyata yang lain. Mungkin saat itu imajinasiku terlalu berlebihan. Tapi, sejak aku mengenal pelajaran mengarang, aku begitu ketagihan dengan hal itu. Ditambah dengan antariksa-antariksa yang membuatku terpikat. 

Semakin naik kelas, semakin banyak draft karangan yang kubuat dalam coretan amburadulku. Aku hanya menuliskan apa yang ingin aku tulis. Belum tahu EYD, belum tahu KBBI, dan macam sebagainya. Demi memenuhi keegoisanku, Bapakku rela pergi ke pasar untuk membeli majalah Bobo dan koran. Aku selalu menantikan hal itu. Begitu banyak yang belum aku kenal dapat ku ketahui lewat majalah itu. Bapakku pun kadang mengajakku membaca koran. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba Bapakku berhenti membeli itu semua. Namun, kini kusadari. Betapa sulitnya mencari bacaan seperti itu ditempatku. Bahkan sekarang kalau ada uang lebih, aku membelinya untuk kedua adikku. Aku ingin mereka berpengetahuan tidak hanya dari buku-buku sekolah saja. Tapi mengenal dunia yang lebih luas pun tak salah dan berusaha menerapkan budaya baca sebagaimana orang tuaku menerapkannya padaku. Setidaknya begitulah aku menghargai sebuah bahasa dan mendapatkan informasi darinya. Aku seperti diterbangkan ke angkasa tertinggi oleh pesona bahasa. 

Kecintaanku di bahasa semakin meningkat saat masuk SMP. Guru Bahasa Indonesiaku bisa dikatakan gaul saat itu. Benar-benar mengajarkan membuat memo, mengarang banyak hal, mengajari membaca cepat, mewajibkan menulis tanpa disingkat, mengajari berlatih drama, membuat musikalisasi puisi, dan masih banyak lagi yang menakjubkan yang mereka ajari. Membuatku semakin gila untuk berimajinasi. Berawal dari sebuah mimpi, aku menemukan sebuah cerita fantasi. Esoknya aku ceritakan pada teman sebangkuku dan kami berdiskusi untuk membuat alur cerita komplit dari mimpi tersebut. Aku tiba-tiba teringat janji masa kecilku di depan teman-teman kelas 9-ku. Aku mengatakan, aku akan menerbitkan cerita ini menjadi novel yang laris. Di dalam hati aku melanjutkan, akan kukalahkan J.K Rowling. Benar-benar sebuah kesombongan masa muda. 

Sempat sakit hati ketika aku ditanya apa pelajaran favoritku oleh seorang guru di SD. Aku yang tanpa ragu menjawab, Bahasa. Guru itu pun seakan heran dan bertanya lagi, kenapa tidak suka IPA? Aku yang anak kecil hanya menjawab dengan tersenyum. Tapi dalam pikiranku berputar pertanyaan seperti, kenapa aku harus menyukai IPA jika aku memang menggemari Bahasa? Apa ada yang salah dengan menyukai Bahasa? Orang tuaku mungkin bisa dikatakan sebagaimana orang tua pada umumnya; ingin anaknya bercita-cita jadi dokter, ingin anaknya masuk IPA, ingin anaknya jadi PNS. Tapi entah kenapa tak semuanya menyerap padaku. Sejak aku mengetahui mengarang, dipikiranku aku hanya ingin terus mengarang. Saat SMA aku ingin masuk Bahasa. Saat kuliah aku ingin masuk ke jurusan jurnalistik. 

Beruntung orang tuaku menghargai aku yang menjalani kehidupanku sendiri. Mungkin aku di doktrin jadi dokter seperti kebanyakan anak kecil ketika ditanya cita-cita, mungkin aku tak bisa masuk jurusan Bahasa karena aku dipaksa masuk IPA, namun ketika kuliah aku benar-benar ingin memutuskan sendiri dan mejalaninya sendiri. Itu saat paling bebas aku mengatur diriku. 

Dalam tes IQ kemampuan bahasaku paling tinggi, dalam sebuah tes Multiple Intellegent juga menunjukan yang sama. Aku bepikir, mungkin itulah yang membuatku sangat mudah menyerap pelajaran bahasa baik asing maupun lokal(meskipun aku parah di bahasa krama di pelajaran Bahasa Jawa). Disamping itu, aku tak pernah mendapat nilai mengecewakan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jerman. Walaupun seringnya pas KKM(Kriteria Kredit Minimal-kalau tidak salah). Itu pun dalam kondisi soal pilihan ganda. Suatu saat aku diperkenalkan pada komik. Aku semakin terjerumus dalam dunia imajiner yang tak berujung. Aku ingin mengenal dunia apalagi yang diperkenalkan oleh para pembuat komik. Tidak, tidak cukup komik saja. Ketika mengenal Supernova “Akar”, aku ingin mengenal lagi kehidupan seperti apa yang mereka tawarkan dalam sebuah novel. Such a wonderful life. Karena aku begitu menyukai Jepang, terpengaruh dari komik, aku ingin tahu bahasa seperti apa yang mereka pakai. Hingga salah seorang temanku mengenalkan sebuah Anime dari sebuah komik yang sering aku baca dengan bahasa asli mereka, Bahasa Jepang. Sayang, aku tak mendapat pelajaran itu saat SMA. Kini, aku dalam proses mempelajarinya. Huft, semoga sampai level 2 deh. ^^v 

Aku tak tahu apa yang kalian pikirkan terhadap tulisanku ini. Aku hanya mencoba langkah kecil untuk mengaplikasikan Apreciative Inquiry. Jadi, maaf kalo malah kedengaran terlalu melebihkan atau bahkan sombong. Dalam pembuatan proses mengarang cerita tak semulus yang dibayangkan. Banyak kritik dan saran dari mereka yang membaca karyaku. Kesempatan itu aku gunakan untuk memperbaiki diri lagi. Masih banyak celah dalam tulisanku. Tapi aku harus berusaha untuk tak membuang impian-impian kecilku. Selamat berjuang juga untuk kalian! :D

Komentar

Postingan Populer